Artikel repelita
DAMPAK REPELITA TERHADAP PEREKONOMIAN (Repelita IV)
d. Periode 1984/1985-1988/1989 Repelita IV
Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini. Bahkan pada periode ini harga minyak bumi turun sangat tajam. Masalah yang semakin nampak dan dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% pertahun selama Pelita IV.Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga merupakan hambatan bagi berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam periode yang amat sulit ini adalah pada tahun 1984 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras (tahun 1980 indonesia menimpor beras sebanyak 2 juta ton, tahun 1981 menimpor 0,54 juta ton, tahun 1982 mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983 menimpor 0,78 juta ton). Dengan demikian devisa yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor beras dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Pedoman pembangunan pada periode ini adalah GBHN tahun 1983 yang pada intinya tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan GBHN sebelumnya.
Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi (Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak menentu pada tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu, sekali lagi pemerintah memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan devaluasi ini, jumlah hutang Indonesia semakin besar.
Untuk memperbaiki pola unit produksi yang membuat biaya ekonomi tinggi sehingga produk Indonesia kurang dapat bersaing di luar negeri, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri dan daya saing barang ekspor bukan migas melalui pemberian kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk serta pembentukkan kawasan berikat. Kemudian pada 30 Juni 1986 Sertifikat Ekspor dihapus. Kebijaksanaan 6 Mei ini kemudian disempurnakan dengan kebijaksanaan 25 Oktober 1986, sekaligus sebagai penunjang kebijaksanaan devaluasi 12 September 1986 yang intinya mendorong ekspor non-migas melalui penggantian sistem bukan tarif menjadi sistem tarif secara bertahap ; juga penyempurnaan ketentuan bea masuk dan bea masuk tambahan. Sejalan dengan itu bea fiskal ke luar negeri dinaikkan dari Rp 150.000,- per orang menjadi Rp 250.000,- perorang. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1986 ekspor dalam bentuk barang mentah (rotan, jangat, dan kulit) dilarang.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya. Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 per barel. Yang juga sedikit menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat melampaui ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu dilakukan untuk menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5% per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.
Program Repelita
Kala memimpin Indonesia Soeharto terkenal dengan program Rencana Pembangunan Lima Tahun. Berikut intisari dari program Repelita 1 sampai 7 yang pernah dikerjakan:
• Repelita 1 dan 2 (1969-1979)
Swasembada Beras
1969: Tambahan tugas Bulog: Manajemen Stok
Penyangga Pangan Nasional – dan penggunaan neraca pangan nasional sebagai standar ketahanan pangan.
1971: Tambahan tugas Bulog sebagai pengimpor gula dan gandum
1973: Lahirnya Serikat Petani Indonesia
1974: Tambahan tugas Bulog: Pengadaan daging untuk DKI Jakarta
1974: Penggunaan Revolusi Hijau untuk mencapai swasembada beras
1977: Tambahan Tugas Bulog: Kontrol impor kacang
kedelai.
1978: Penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau
• Repelita 3 dan 4 (1979-1989)
Swasembada Pangan
1978: Keppres39/1978, Pengembalian tugas Bulog
sebagai kontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir dll.
1984: Medali dari FAO atas tercapainya Swasembada
Pangan.
• Repelita 5,6 dan 7(1989-1998)
Swasembada Beras
1995: Penganugerahan pegawai Bulog sebagai Pegawai Negeri Sipil
1997: Perubahan fungsi Bulog untuk mengontrol hanya untuk harga beras dan gula pasir.
1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja.
Namun, keberhasilan itu tidak dapat dinikmati berlama-lama. Kegagalan Revolusi Hijau atau revolusi pangan seperti di negara-negara lain juga menimpa Indonesia. Swasembada pangan hanya berlangsung hingga tahun 1989. Indonesia terpaksa kembali mengekspor beras.(Ken/Ant/Berbagai Sumber)