Have an account?

Selasa, 17 Mei 2011

Perdagangan Internasional ACFTA


 ACFTA

 

Pada pertengahan 1980-an, preferential trading arrangements (PTA) berkembang sebagai pelengkap dari kerjsama internasional. Berbeda dengan kerjasama internasional, PTA melibatkan dua atau beberapa negara. Berdasarkan teori PTA, sebagaimana dipaparkan oleh Kemp dan Vanek, dampak dari dua atau beberapa negara yang membentuk custom unionsadalah meningkatnya kesejahteraan dari negara- negara yang tergabung dalam union tersebut dan tidak menyebabkan turunnya kesejahteraan negara- negara di luar union tersebut. Hal ini dibuktikan dalam studi yang dilakukan oleh Ohyama dan Kemp dan Wan. Ketimbang menetapkancommon external tariff, pola PTA yang lebih banyak berkembang adalah penghasilan hambatan dagang intra atau dikenal sebagai Free Trade Agreement  (FTA). Beberapa FTA yang telah berjalan yaitu Nort American Free Trade Area (NAFTA), European Economic Area (EEA), African Free Trade Zone (AFTZ) dan South Asia Free Trade Agreement  (SAFTA).

Demikian juga dengan Indonesia yang telah melakukan kerjasama perdagangan baik yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Meskipun keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerjsama perdagangan tersebut memberikan tantangan terhadap produk dalam negeri, tujuan dari semua perjanjian tersebut adalah adanya dampak positif bagi perekonomian negara- negara yang terlibat dan ekonomi Indonesia pada khususnya.

Terkait dengan kawasan regional, Indonesia tergabung dalam ASEAN Free Trade Area ( AFTA) yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam perkembangannya, kerjasama diperluas dengan melibatkan berbagai negara lainnya termasuk dengan Cina yang dikenal sebagai ACFTA. Secara khusus, keterlibatan Indonesia dalam ACFTA perlu untuk dicermati lebih lanjut. hal ini terkait dengan banyuak faktor seperti kesiapan produk dalam negeri menghadapi serangan barang impor dari Cina, serta potensi pasar ASEAN yang menjadi berkurang. dari berbagai literatur studi yang ada, telah banyak diulas dampak ACFTA dari berbagai dimensi dan alat analisis. Penelitian ini diharapkan menadi salah satu pelengkap studi dampak ACFTA dengan nilai tambah baru. dengan dmeikian, informasi yang terkait dengan studi perdagangan pasar ACFTA semakin lengkap.

PERDAGANGAN INTERNASIONAL


PERDAGANGAN INTERNASIONAL

 

PERDAGANGAN INTERNASIONAL
• Hambatan perdagangan internasional :
a. hambatan tarif
tarif adalah nilai tertentu yang dibebankan kepada suatu komoditi luar negeri tertentu yang akan memasuki suatu negara.
Penetapan tarif ada dua jenis :
a. Tarif Ad-volarem yakni tarif yang besar kecilnya ditetapkan berdasarkan prosentase tertentu dari nilai komoditi yang diimpor.
b. Tarif spesifik yakni tarif yang besar kecilnya didasarkan pada nilai yang tetap untuk setiap jumlah komoditi impor tertentu.

b. hambatan kuota
Quota diartikan sebagai tindakan pemerintah suatu negara dengan menentukanbatas maksimal suatu komoditi impor yang boleh masuk ke negara tersebut.

c. hambatan dumping
suatu tindakan dengan menetapkan harga yang lebih murah di luar negeri dibandingkan harga di dalam negeri utnuk produk yang sama.

• Neraca pembayaran luar negeri indonesia dapat dikelompokkan ke dalam berikut ini :
a. neraca perdagangan, yang merupakan kelompok transaksi-transaksi yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor barang, baik migas maupun non migas.
b. Neraca jasa, kelompok transaksi-transaksi yang berkaitan dengan kegiatan ekspor impor di bidang jasa.
c. Neraca berjalan, merupakan hasil penggabungan antara neraca perdagangan dan neraca jasa.
d. Neraca lalu lintas modal, merupakan kelompok pos-pos yang berkaitan dengan lalu lintas modal pemerintah bersih (selisih antara pinjaman dan pelunasan hutang pokok) dan lalu lintas modal swasta bersih,.
e. Selisih yang belum diperhitungkan.
f. Neraca lalu lintas moneter, yang merupakan kelompok pos-pos yang berkaitan dengan perubahan cadangan devisa.

• Kurs :
Kurs valuta asing sering diartikan sebagai nilai mata uang suatu negara yang harus dikorbankan/dikeluarkan utnuk mendapatkan satu unit mata uang asing. Jika kita menggunakan Rupiah dan Dollar, maka kurs valuta asing adalah nilai tukar yang menggambarkan banyaknya Rupiah yang harus dikeluarkan utnuk mendapatkan satu unit. Dollar dalam kurun waktu tertentu.
Depresiasi adalah turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (dollar)

angaran pembelajaan negara defisit


angaran pembelajaan negara defisit


Pemerintah menyatakan perkiraan awal anggaran negara di 2012 masih akan defisit sebesar 1,4%, dan masih bisa bertambah. Ini sudah pasti akan menambah daftar utang guna menutupi defisit.

Total utang pemerintah Indonesia pada Maret 2011 tercatat mencapai Rp 1.694,63 triliun. Angka itu bertambah Rp 2,46 triliun dibanding Februari 2011 yang jumlahnya Rp 1.692,17 triliun.

Untuk menutup defisit, biasanya pemerintah mencari pemasukan lewat penerbitan surat utang negara (SUN) atau lewat utang bilateral.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, tidak menutup kemungkinan defisit di 2012 akan bertambah 0,1-0,2% dari rencana 1,4%.

"Defisit di RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 1,4%. Kita tidak menutup diri meningkatkan defisit itu 0,1-0,2%," ujarnya saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (25/4/2011).

Agus Marto mengatakan di 2012 penerimaan negara bisa dinaikkan hingga Rp 100 triliun melebihi penerimaan di 2011. Kenaikan penerimaan tersebut, lanjutnya akan ditingkatkan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Waktu tahun ini defisit 1,8%, kita merasa penerimaan bisa menambah Rp 100 triliun di 2012. Itu bukan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak," jelasnya.

Menurut Agus Marto, defisit dengan tambahan penerimaan tersebut akan diarahkan pada infrastruktur sembari tetap menjaga pengeluaran dengan mengurangi belanja yang tidak produktif.

"Tapi kita arahkan kepada infrastruktur, itu menjadi diskusi. Peningkatan penerimaan negara akan didalami, pengeluaran dapat efisien, belanja-belanja yang tidak produktif," pungkasnya.

APBN Anggaran Surplus


APBN Anggaran Surplus


         Departemen Keuangan (Depkeu) mencatat, total surplus anggaran pemerintah pada kuartal 1-2009 mencapai sekitar Rp 57 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk belanja negara dan program stimulus infrastruktur yang segera berjalan. Surplus anggaran itu terdiri atas surplus dari APBN pada tiga bulan | pertama 2009 sehilai Rp 2,9 triliun. Selain itu, dari penerbitan obligasi neto ditambah pinjaman program (program loan) dan lainnya Rp 54 triliun.
        Total surplus itu merupakan posisi outstanding. Itu pun akan segera dipakai dalam alokasi belanja negara, terutama program stimulus fiskal." kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu) Anggito Abimanyu di Jakarta, Senin (20/4).
        Anggito optimistis, dana surplus Rp 57 tribun bakal cepat terserap terutama pada kuartal 11-2008, seiring realisasi proyek-proyek APBN dan program stimulus fiskal untuk infrastruktur.
        Dia juga menjelaskan, saat ini, posisi aliran modal masuk (capital inflow) ke dalam negeri cukup positif. Hingga Maret 2009, terjadi capital inflow, baik dalam bentuk portofolio maupun investasi langsung. Namun, Depkeu belum dapat menyampaikan angka pastinya karena masih harus diverifikasi.
      Tentang jelas dana dari Qatar Telecomunication (Qtel) yang tender offer uangnya sekitar US$ 800 juta sudah masuk ke Bank Indonesia (BO dan para investor. Daia global bond juga sudah masuk. Tapi, belum termasuk sukuk global sehingga bisa lebih besar lagi," papar dia.
     Adanya surplus anggaran tersebut, menurut Anggito, membuat pemerintah belum menarik fasilitas pinjaman siaga atau deferred drawdown option (DDO). "Sebab, Indonesia masih memiliki operasi APBN yang positif," ucap dia.
    Anggito menambahkan, komitmen pinjaman siaga RI dari lembaga bilateral dan multilateral saat ini mencapai US$ 5,5 miliar. Bank Pembangunan Asia (ADB), kata dia, April ini memberikan keputusan di tingkat board terkait pinjaman siaga ke Indonesia. "Untuk Jepang tinggal kapan kami mau masuk pasarnya untuk Samurai Bond. Kami perkirakan semester 1-2009 akhir. Dari Australia masih menunggu persetujuan parlemen. Tapi, itu segera tersedia tinggal soal triggers kapan mau diambil," tutur dia.
     Terkait pengajuan Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2009 ke DPR, menurut Anggito, pemerintah belum menentukan besaran asumsi makronya. Berdasarkan hasil rapat pimpinan (rapim) pejabat Depkeu beberapa waktu lalu, pemerintah melihat kondisi APBN masih sehat
     "Demikian juga dengan kondisi neraca pembayaran (balance ofpayment/hOP), sehingga neraca perdagangan dan capitalaccvuntmastt surplus dan positif," kata Anggito.

Dana Tidur di BI

     Secara terpisah, Direktur Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa menilai adanya surplus anggaran kuartal 1-2008 menunjukkan pemerintah lamban mengimplementasikan kebijakan yang mendorong permintaan domestik.
     Kondisi itu diperparah oleh besarnya dana pemerintah yang diparkir di Bank Indonesia (BI). Hingga akhir Maret 2009, kata Purbaya, terdapat sekitar Rp 172 triliun dana pemerintah yang ditidurkan di BI.
     "Padahal, hingga akhir Desember 2008, rekening itu hanya sekitar Rp 95 triliun. Artinya, dalam waktu tiga bulan terdapat sekitar Rp 80 triliun uang pemerintah di BI, sehingga mengakibatkan terjadinya kekeringan likuiditas dan berimplikasi pada sulitnya perbankan menurunkan bunga kredit," papar dia
     Purbaya mengingatkan, jika pemerintah tidak segera menggelontorkan dana tidur di rekening BI maupun dana hasil surplus anggaran, pertumbuhan ekonomi triwulan IH-2009 akan jatuh cukup dalam. "Bahkan, hampir bisa dipastikan pertumbuhannya akan negatif," kata dia.

Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri.


Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri.
Kebijaksanaan  Pemerintah di bidang perdagangan dan ke­uangan  luar negeri  selama masa Repelita I berpangkal tolak pada sasaran utama pembangunan jangka panjang yaitu ter­ciptanya landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri. Di samping itu, kebijaksanaan dutujukan pula untuk mengurangi ketergantungan pada perkembaugan moneter dan perdagangan internasional dan untuk menghadapi pengaruh yang tidak menguntungkan yang bersumber padapergolakan ekonomi dunia. 
Selama periode 1969/70-1973/74, telah diambil berbagai tindakan untuk mendorong laju pembangunan dan memungkin- kan perobahan struktur ekonomi dan perdagangan luar negeri serta pemupukan cadangan devisa melalui pengembangan eks­por, pengendalian impor, dan pemanfaatan modal  luar  negeri.

Di bidang ekspor telah diambil langkah-langkah ke arah pe­ningkatan kapasitas produksi, diversifikasi dalam komposisi dan pasaran, peningkatan mutu dan standarisasi, pengolahan lebih lanjut dari hasil-hasil ekspor serta perbaikan dalam pola pemasaran. Untuk pengembangan barang-barang ekspor baru telah dibentuk Lembaga Pengembangan Ekspor Nasional da- lam tahun 1971 dengan tugas penelitian pemasaran produk ba­ru serta penyediaan informasi dan bantuan kepada para eks­portir dalam hal pemasaran dan pengembangan ketrampilan. Guna mendorong pertumbuhan ekspor barang-barang baru me­lalui fasilitas fiskal juga telahdirintis gagasan "wilayah peng­olahan ekspor" dan "wilayah bebas bea masuk" di samping fasilitas "bonded warehouse". Untuk menghadapi pasaran du-nia yang semakin tajam persaingannya dan memperkuat ke­dudukan Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir   hasil pertanian, telah dijalankan berbagai usaha pemasaranbersama dalam rangka kerja sama internasional maupun re­gional. Demikian juga telah dimulai langkah-langkah untuk mengembangkan pasaran baru seperti Australia dan Selandia Baru, negara-negara Sosialis dan Eropa Timur, dan negara­negara di wilayah Asia khususnya ASEAN. Kebijaksanaan impor selama Repelita I ditujukan pada sa­saran penyediaan barang pokok dalam rangka program stabi­

lisasi harga dan penunjangan produksi dengan menjamin arus bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan. Pertumbuhan produksi dalam negeri dalam sektor-sektor industri yang di­utamakan juga berarti perubahan dalam pola impor sehingga terjadi pergeseran dari impor barang jadi ke arah impor barang modal dan bahan baku. Kebijaksanaan substitusi impor ini ter­utama berbentuk perlindungan melalui tingkat bea masuk dan  bila perlu melalui pembatasan dan  pelarangan  impor barang  yang sudah dapat dihasilkan di dalam negeri.
Dalam kerangka kebijaksanaan perdagangan luar negeri, penyempurnaan dibidang tata-niaga ditujukan untuk mendorong produksi,  mengembangkan  usaha  bagi produsen dalam negeri  dan menciptakan lapangan kerja yang baru. Bersamaan dengan  itu, tindakan yang  bertalian  dengan  penurunan  biaya  ekspor   dan impor, pengawasan  kwalitas,  pelarangan  ekspor dengan  mutu yang rendah, penyederhanaan prosedur ekspor dan impor serta peningkatan penelitian telah banyak  membantu  kelancar-  an pemasaran barang-barang ekspor dan impor.
Dengan dilaksanakannya kebijaksanaan Pemerintah di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri dalam bulan April 1970 dan tindakan lainnya selama tahun 1970, maka  perbedaan  an­tara berbagai kurs transaksi dengan luar negeri dihapuskan. Kebijaksanaan yang ditempuh pada  waktu  itu  meliputi penya­tuan kurs Bonus Ekspor (BE) dan Devisa Pelengkap (DP), penghapusan Pungutan Ekspor dan Alokasi Devisa Otomatis (ADO), serta penggantiannya dengan pajak devisa sebesar            10 persen. Di lain pihak ekspor barang jadi dan hasil kerajinan rakyat dibebaskan dari pajak devisa tersebut.
Selama tahun 1971 perdagangan luar negeri  Indonesia meng­alami pengaruh yang tidak menguntungkan akibat kegoncang-      an dalam perdagangan dan keuangan internasional. Untuk memperkuat posisi Indonesia di pasaran dunia,  setelah perte­ngahan tahun 1971 Pemerintah mengambil tindakan untuk me­ngurangi atau menghapus berbagai beban ekspor seperti pungutan cess dan biaya survey dan menyesuaikan nilai tukar devisa dalam bulan Agustus 1971.
Akibat terus berlangsungnya krisis moneter ditambah pula dengan kenaikan harga minyak bumi dan bahan baku interna­sional, laju inflasi dunia berkembang dengan pesat.  Keadaan ini juga mempengaruhi Indonesia sehingga tahun terakhir    Repelita I ditandai oleh masalah kenaikan harga dalam negeri terutama harga-harga bahan kebutuhan hidup dan barang-ba­rang yang diperlukan untuk kegiatan produksi. Pemerintah kemudian melaksanakan seran;gkaian kebijaksanaan di bidang ekonomi dan moneter untuk menanggulangi masalah tersebut.

sumber dana APBN


sumber dana APBN


Anggito menyatakan secara nominal, penerimaan pajak pada kuartal I/ 2006 untuk PPh naik 19%, dan PPN 45% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan pada kuartal I/ 2007 naik 30%-40%.
"Rasio itu turun, kenapa? Dibandingkan dengan targetnya 2006 terlalu rendah atau 2007 yang terlalu tinggi. Tapi ini rasio, akan kita pantau terus, seharusnya penerimaan pajak itu lebih tinggi lagi, tapi terhambat karena ditjen pajak lakukan restitusi," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menyangkut restitusi ini, dia mengatakan realisasi pembayaran restitusi sepanjang kuartal I 2007 mencapai Rp7,1 triliun, terdiri atas pembayaran tunggakan sebesar Rp2,8 triliun dan sisanya pembayaran untuk tahun berjalan.
Anggito menyatakan kenaikan penerimaan PPN selaras dengan pertumbuhan kredit konsumsi 12%, kredit investasi 15%, terjadinya kenaikan laba perusahaan, dan peningkatan alokasi belanja modal di APBD.
"Di daerah itu, APBD-nya juga ada peningkatan alokasi investasi belanja modal. Kalau dilihat 2005, persentasenya 19%, 2006 26,1%, 2007 sekitar 27%. Inilah sumber-sumber investasi yang membuat kita yakin pertumbuhan ekonomi 2007 masih di jalur yang benar."
Terlalu optimistis
Sejumlah ekonom menanggapi dingin hasil pemantauan dini (asessment) pemerintah atas kinerja perekonomian sepanjang kuartal I/ 2007 yang ditimbang 5,7%-5,9%. Para ekonom menganggap capaian yang ditunjukkan asesstment tersebut terlalu optimistis.
Ekonom Econit Hendry Saparini dan ekonom Indef Fadhil Hassan mempertanyakan kredibilitas hasil pemantauan dini tersebut. Mereka bahkan meragukan bahwa data tersebut layak dijadikan rujukan.
Sebab, sepanjang dua tahun terakhir target PDB tidak pernah tercapai. Tahun lalu, meski pemerintah menurunkan target PDB di tengah jalan, realisasinya tetap di bawah target dari 6,2% dikoreksi ke 5,8% dan realisasinya 5,5%.
"Jadi, bila sektor riil tidak bergerak, belanja cuma 15%, tapi diklaim PDB kuartal I tinggi hingga daya beli meningkat, klaim itu jadi aneh. Apa sih artinya prestasi di angka-angka itu bila tidak didukung fakta perbaikan ekonomi masyarakat." Dalam asessment atas kinerja perekonomian kuartal I yang disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu kemarin, disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I/ 2007 dikisar 5,7%-5,9%.
Senada dengan Hendry, ekonom Indef Fadhil Hassan menyatakan asumsi yang dipakai assessment itu meragukan, terutama ekspor yang diduga melambat dan pembentukan modal tetap bruto yang menjadi ukuran komponen investasi, bukan persetujuan atau realisasi.
Karena itu, terutama atas menurunnya belanja pemerintah, PDB kuartal I/ 2007 sukar mencapai 5,9%. "Kalau 5,7% itu maksimal. Sektor riil belum banyak bergerak, yang stabil itu cuma konsumsi dan pasar modal."
Dihubungi terpisah, Kepala BPS Rusman Heriawan menyatakan tidak ada yang luar biasa dari asessment itu. "Semua boleh mengeluarkan prediksi, asessment atau apa. Tapi nanti, 15 Mei, kita umumkan angka yang resmi."